Langsung ke konten utama

Da'wah dalam era teknologi dengan multikultural etnis di tengah terpaan media sosial dan isu global Islamisasi


Da'wah dalam era teknologi dengan multikultural etnis di tengah terpaan media sosial dan isu global Islamisasi

Penyusun: Raihan Muhammad

A. Pengertian Da'wah
Dakwah (Arab: دعوة‎, da‘wah; "ajakan") adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan. Kata dakwah sering dirangkaikan dengan kata "Ilmu" dan kata "Islam", sehingga menjadi "Ilmu dakwah" dan Dakwah Islam" atau ad-dakwah al-Islamiyah.
A. 1. Ilmu dakwah
Ilmu dakwah adalah suatu ilmu yang berisi cara dan tuntunan untuk menarik perhatian orang lain supaya menganut, mengikuti, menyetujui atau melaksanakan suatu ideologi, agama, pendapat atau pekerjaan tertentu. Orang yang menyampaikan dakwah disebut "da'i" sedangkan yang menjadi objek dakwah disebut "mad'u". Setiap Muslim yang menjalankan fungsi dakwah Islam adalah "da'i".
A. 2. Tujuan utama dakwah
Tujuan utama dakwah ialah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridai oleh Allah. Nabi Muhammad S.A.W mencontohkan dakwah kepada umatnya dengan berbagai cara melalui lisan, tulisan dan perbuatan. Dimulai dari istrinya, keluarganya, dan teman-teman karibnya hingga raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Di antara raja-raja yang mendapat surat atau risalah nabi S.A.W adalah kaisar Heraklius dari Byzantium, Mukaukis dari Mesir, Kisra dari Persia (Iran) dan Raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia).
A. 3. Fiqhud-dakwah
Ilmu yang memahami aspek hukum dan tatacara yang berkaitan dengan dakwah, sehingga para muballigh bukan saja paham tentang kebenaran Islam akan tetapi mereka juga didukung oleh kemampuan yang baik dalam menyampaikan Risalah al Islamiyah.
A. 3. 1 . Dakwah fardiah
Dakwah Fardiah merupakan metode dakwah yang dilakukan seseorang kepada orang lain (satu orang) atau kepada beberapa orang dalam jumlah yang kecil dan terbatas. Biasanya dakwah fardiah terjadi tanpa persiapan yang matang dan tersusun secara tertib. Termasuk kategori dakwah seperti ini adalah menasihati teman sekerja, teguran, anjuran memberi contoh. Termasuk dalam hal ini pada saat mengunjungi orang sakit, pada waktu ada acara tahniah (ucapan selamat), dan pada waktu upacara kelahiran (tasmiyah).
A. 3. 2. Dakwah ammah
Dakwah Ammah merupakan jenis dakwah yang dilakukan oleh seseorang dengan media lisan yang ditujukan kepada orang banyak dengan maksud menanamkan pengaruh kepada mereka. Media yang dipakai biasanya berbentuk khotbah (pidato). Dakwah Ammah ini kalau ditinjau dari segi subjeknya, ada yang dilakukan oleh perorangan dan ada yang dilakukan oleh organisasi tertentu yang berkecimpung dalam soal-soal dakwah.
A. 3. 3. Dakwah bil-lisan
Dakwah jenis ini adalah penyampaian informasi atau pesan dakwah melalui lisan (ceramah atau komunikasi langsung antara subjek dan objek dakwah). dakwah jenis ini akan menjadi efektif bila: disampaikan berkaitan dengan hari ibadah seperti khutbah Jumat atau khutbah hari Raya, kajian yang disampaikan menyangkut ibadah praktis, konteks sajian terprogram, disampaikan dengan metode dialog dengan hadirin.
A. 3. 4. Dakwah bil-Haal
Dakwah bil al-hal adalah dakwah yang mengedepankan perbuatan nyata. Hal ini dimaksudkan agar si penerima dakwah (al-Mad'ulah) mengikuti jejak dan hal ihwal si Da'i (juru dakwah). Dakwah jenis ini mempunyai pengaruh yang besar pada diri penerima dakwah. Pada saat pertama kali rasulullah S.A.W tiba di kota Madinah, dia mencontohkan dakwah bil-haal ini dengan mendirikan Masjid Quba, dan mempersatukan kaum Anshor dan kaum Muhajirin dalam ikatan ukhuwah Islamiyah.
A. 3. 5. Dakwah bit-tadwin
Memasuki zaman global seperti saat sekarang ini, pola dakwah bit at-tadwin (dakwah melalui tulisan) baik dengan menerbitkan kitab-kitab, majalah, internet, koran, dan tulisan-tulisan yang mengandung pesan dakwah sangat penting dan efektif. Keuntungan lain dari dakwah model ini tidak menjadi musnah meskipun sang dai, atau penulisnya sudah wafat. Menyangkut dakwah bit-Tadwim ini rasulullah S.A.W bersabda, "Sesungguhnya tinta para ulama adalah lebih baik dari darahnya para syuhada".
A. 3. 6. Dakwah bil hikmah
Dakwah bil hikmah adalah menyampaikan dakwah dengan cara yang arif bijaksana, yaitu melakukan pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak objek dakwah mampu melaksanakan dakwah atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan maupun konflik. Dengan kata lain dakwah bi al-hikmah merupakan suatu metode pendekatan komunikasi dakwah yang dilakukan atas dasar persuasif.
Menurut istilah Syar'i: Valid dalam perkataan dan perbuatan, mengetahui yang benar dan mengamalkannya, wara' dalam dinullah, meletakkan sesuatu pada tempatnya dan menjawab dengan tegas dan tepat.

B. Era Teknologi
Penulis H Yuddy Chrisnandi [Guru Besar Pascasarjana Universitas Nasional Menpan dan RB 2014-2016] sempat membahas Populisme di Era Teknologi Informasi pada Senin, 20 Maret 2017 tepatnya di nasional.kompas.com
Ketika 45 tahun lalu Alfin Toffler menerbitkan karyanya, Future Shock (1970), banyak orang tersentak dan tersadarkan: bahwa kita sebenarnya sedang menjalani perubahan besar, perubahan yang ditarik oleh lokomotif kemajuan high technology.
Faktanya saat ini kita sedang menjalani perubahan itu bersama gelombang revolusi ketiga umat manusia, yaitu terciptanya masyarakat informasi. Setiap gelombang peradaban manusia akan menghapus tren gelombang sebelumnya. Contohnya revolusi industri yang berlangsung 300-an tahun yang menghapus era ribuan tahun masyarakat agraris, demikian pula tren industrialisasi akan digantikan era masyarakat informasi. Setiap gelombang peradaban akan berpengaruh besar pada struktur maupun tatanan masyarakat, termasuk tatanan politik.
Semakin global
Hari ini kita menyaksikan dunia semakin mengglobal, bahkan dunia dan informasi di dalamnya dapat kita akses melalui gadget di tangan kita. Teknologi juga telah menyeimbangkan informasi antarkomunal dalam masyarakat.
Era sebelumnya dikenal dengan asymmetric information karena info hanya bisa diakses kalangan tertentu. Namun, di era borderless media dengan teknologi seperti sekarang, semua info dapat dengan mudah tersebar. Semua orang bisa mengakses informasi, dan media informasi (termasuk media sosial) saat ini berperan penting sebagai to lead public perception.
Demikian pula dengan apa yang kita lihat pada fenomena kepemimpinan politik global, sebagian menemukan penjelasannya juga pada kemampuan mereka mengapitalisasi keterbukaan informasi demi mendukung posisi politik mereka. Kemudian, tesis ini diperkuat ketika variabel yang lain hadir melengkapinya, yaitu kebangkitan kelas menengah, kelas yang dikenal sebagai motor perubahan.
Saya menduga peristiwa kemenangan Donald Trump, Rodrigo Duterte, dicalonkannya Francois Fillon sebagai presiden Perancis dari kubu konservatif Partai Republik, serta keluarnya Inggris dari Uni Eropa adalah tanda-tanda keinginan masyarakat untuk keluar dari kemapanan demi suatu perubahan. Mungkin bagi banyak orang ini adalah anomali, siapa yang menduga Trump yang kata-katanya rasis dan menimbulkan banyak kontroversi serta Duterte yang juga sepola bisa menang? Bahkan, pengamat politik pun salah memprediksi. Mengapa demikian?
Hal ini karena mulai berubahnya struktur sosial masyarakat di semua negara yang mendorong munculnya kelas menengah baru. Tahun 1970 dari penduduk Bumi sekitar 3,6 miliar orang, 30 persen kelas menengah dan 60 persen lainnya kelompok miskin. Saat ini jumlah penduduk Bumi 7,2 miliar orang, dengan jumlah kelas menengah meningkat mencapai 60 persen dan kelompok miskin turun jadi 30 persen. Karena itu, keterbukaan informasi dan kebangkitan kelas menengah penting untuk kita catat. Apa dampaknya terhadap politik dan pemerintahan?
Pertama, masyarakat akan lebih mudah dipengaruhi isu positioning. Kelas menengah ini kelompok rawan. Mereka otonom, mandiri, tidak bisa dikendalikan oleh penguasa, sangat kritis, bahkan memiliki kecenderungan sebagai leader gerakan massa. Fenomena gerakan sosial di banyak negara telah membuktikannya. Demikian juga kita di Indonesia dalam tiga kali gelombang perubahan (1945, 1966, dan 1998). Kelas menengah selalu merasa insecure sehingga sangat mudah diprovokasi, diarahkan, dan diajak melakukan gerakan sosial.
Lihat yang terjadi di Korea Selatan saat protes meminta presiden turun, gerakan perlawanan publik atas aksi makar yang dilakukan sekelompok tentara di Turki, atau di Malaysia walaupun belum masif. Saya kira tinggal menunggu momen saja gerakan bersih-bersih di Malaysia yang dikomandoi kelas menengah akan meledak. Itu semua terjadi sangat cepat karena diprovokasi melalui media sosial teknologi.
Kedua, runtuhnya basis ideologi. Kelas menengah tak memiliki bentuk ideologi communal base. Mereka hanya bersatu pada sebuah tren. Artinya trenlah yang mengeruk suara dan orang-orang yang leading dalam dunia politik yang sebelumnya telah sangat berkembang di dunia bisnis adalah orang-orang yang bisa membuat tren.
Oleh karena itu, kekuatan kapital yang berada di belakang tren amat terasa dalam menentukan pendapat publik melalui media televisi, radio, surat kabar, dan bahkan perkembangan terbaru belakangan ini yang juga terasa bagi kita di Indonesia adalah media sosial. Media sosial melalui cyber army berpotensi mengarahkan pandangan publik, dan ini mengundang bahaya apabila masyarakat terlebih kelas menengahmenerima dan ikut hanyut dalam arus informasi tanpa menyeleksinya secara kritis
Informasi "bias"
Ketiga,karena informasi bisa diakses semua orang dengan cepat, hal ini menciptakan sebuah "bias", yaitu sebuah informasi yang tidak terverifikasi, tetapi dipercaya masyarakat. Contohnya banyak, seperti bermunculannya akun-akun anonim atau yang memakai beragam nama dengan tujuan memengaruhi wacana publik. Namun, untuk tujuan yang konstruktif dari penyebaran informasi dengan "nilai luhur", hal ini sebuah kekuatan. Mengapa demikian? Sebab, kita bisa menjual produk apa pun di masyarakat sepanjang kita dapat meyakinkan masyarakat melalui media teknologi informasi.
Contohnya adalah kemenangan Trump. Siapa yang memprediksi kemenangan Trump seperti yang tadi saya katakan? Pengamat politik pun tidak menduga Trump akan menang dan Hillary Clinton—yang didukung Barack Obama—justru kalah. Rakyat AS terbelah pendapatnya atas calon presiden dari Partai Republik ini, tetapibisa menang? Itulah kekuatan pemanfaatan "bias". Trump dilihat sebagai sosok yang bisa menentang kemapanan Partai Demokrat selama masa dua kali masa pemerintahan Obama serta membawa angin perubahan atas merosotnya perekonomian AS, isu imigran dan terorisme, serta komitmennya untuk mengembalikan supremasi AS sebagai kekuatan ekonomi dan politik dunia. Figur Trump melalui kekuatan medianya di-"bias"-kan sebagai "Make American Great Again" yang dikontraskan dengan semboyan Hillary Clinton, "Stronger Together".
Hillary Clinton pun menerapkan bias ini saat menjadi Menteri Luar Negeri AS ketika ia menggunakan e-mail pribadi untuk urusan pemerintahan yang oleh UU Federal dilarang. Kenyataannya, hal ini tak terlihat atau terbukti sebagai korupsi kebijakan atau setidak-tidaknya skandal. Meski sudah dibuka oleh Direktur FBI James Comey, kasus ini tak sampai menyeret Hillary ke pengadilan. Mengapa?
Sebab, masyarakat bisa diyakinkan oleh ”bias” bahwa Clinton tak melakukannya walaupun sebagian lain juga terkena ”bias” dengan percaya skandal itu dan akhirnya meninggalkan Hillary di hari-hari terakhir pemilihan.
Hal-hal yang telah saya terangkan di atas terkait dengan menyatunya masyarakat dalam arus besar informasi dan kemampuan pemilik kapital mengarahkan wacana publik, termasuk di dalamnya kelas menengah, membuat kapitalisasi informasi demikian berharga sekarang.
Kapital ini penting dan kapital yang ditanamkan dalam berbagai sektor, termasuk sektor media, tak terbantahkan telah menjadi tren pembentuk opini masyarakat. Saya kira kita semua mafhum, banyak tokoh politik dunia juga tampil lewat dukungan resources kapital besar melalui pembentukan opini media.
Namun, satu hal yang harus kita garis bawahi adalah pembentukan opini masyarakat juga harus diterima secara kritis. Masyarakat harus pandai menyeleksi dan menilai sesuatu informasi tanpa harus dipengaruhi opininya oleh media. Masyarakat harus kritis, apalagi era keterbukaan informasi saat ini telah memberikan pembanding informasi yang cukup untuk membangun kemandirian opini masyarakat. Populisme politik harus selaras dengan sikap kritis dan keingintahuan menggali informasi yang lebih dalam guna menemukan kebenaran setiap informasi yang kita terima.

C. Pemahaman Multikultural Etnis
Pengertian Etnisitas
Etnisitas adalah suatu penggolongan dasar dari suatu organisasi sosial yang keanggotaannya didasarkan pada kesamaan asal, sejarah, budaya, agama dan bahasa serta tetap mempertahankan identitas jati diri mereka melalui cara dan tradisi khas yang tetap terjaga, misalnya etnis Cina, etnis Arab, dan etnis Tamil-India. Istilah etnisitas juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada suku-suku yang dianggap asli Indonesia. Misalnya etnis Bugis, etnis Minang, etnis Dairi-Pakpak, etnis Dani, etnis Sasak, dan etnis lainnya. Istilah suku mulai ditinggalkan karena berasosiasi dengan keprimitifan, sedangkan istilah etnis dirasa lebih netral. Dalam ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnisitas berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya.
Menurut Max Weber, Etnisitas adalah suatu kelompok manusia yang menghormati pandangan serta memegang kepercayaan bahwa asal yang sama menjadi alasan untuk penciptaan suatu komunitas tersendiri.
Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnisitas merujuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budaya. Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang :
Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan kelompok.
Mempunyai nila-nilai budaya dan sadar akan rasa kebersamaannya.
Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi.
Menentukan ciri kelompok sendiri yang dapat diterima oleh kelompok lain.
Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial yang sama di dalam masyarakat. Dengan demikian, setiap individu merasa di hargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Dalam pengertian tradisional tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama yaitu kebutuhan terhadap pengakuan (The need of recognition) serta legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya.
Menurut S. Saptaatmaja, Multikulturalisme adalah Suatu tujuan untuk bekerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kompleks dan tidak monokultur. Dari pengertian ini dapat disimpulkan agar seseorang dapat melihat perbedaan dan usaha untuk bekerja secara positif dengan yang berbeda dan terus mewaspadai segala bentuk sikap yang bisa mereduksi multikulturalisme itu sendiri.
Sejarah Multikulturalisme
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa inggris (English Speaking Countries), yaitu di negara Canada pada tahun 1079-an. Kebijakan inikemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa seperti Australia, Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan negara lainnya.
1. Jenis – Jenis Multikulturalisme
Menurut Parekh, Multikulturalisme dapat dibedakan menjadi 5 macam, yaitu :
Multikulturalisme Isolasionis
Multikulturalisme Akomodatif
Multikulturalisme Otonomis
Multikulturalisme Kritikal/Interaktif
Multikulturalisme Kosmopolitan
Topik Pembahasan

D. Globalisasi dan Tantangan Islamisasi Media
Kehidupan umat manusia telah mengalami kemajuan yang pesat sejak Revolusi Industri. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa kita dalam sebuah kehidupan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Salah satu yang mengalami perkembangan pesat adalah pada teknologi komunikasi yang menghubungkan umat manusia dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Gadget komunikasi seperti televisi dan internet telah meretas batas ruang dan waktu dalam penyediaan informasi.
Sejak pengoperasian satelit, sebuah peristiwa di satu belahan dunia dapat disaksikan di belahan dunia lain melalui siaran televisi. Hal-hal inilah yang dikemukakan oleh Anthony Giddens,
seorang  sosiolog Inggris, sebagai awal dari globalisasi (Giddens, 1994).
Globalisasi dewasa ini sering didefinisikan sebagai keterbukaan pasar global. Kemajuan teknologi telah merancang keterbukaan pasar dimana akses terbuka lebar dan pemasaran terhadap produk dilakukan melalui media informasi secara global. Globalisasi juga ditandai dengan tersebarnya perusahaan multinasional di seluruh dunia. Globalisasi terkadang ditanggapi skeptis oleh banyak pihak karena dianggap sebagai gejala kapitalisasi global dimana globalisasi hanya menguntungkan pihak pemodal .
Bagaimanapun, globalisasi merupakan sebuah konsekuensi modernitas yang tidak dapat dihindari. Realita ini tidak hanya berimbas pada dimensi kehidupan ekonomi, tetapi juga berefek pada dimensi politik, teknologi dan budaya (Giddens, 2001).
Islam dan Globalisasi
Masyarakat Barat yang berperan besar dalam kemajuan teknologi dan penyediaan informasi, selain memasarkan produk-produk bernilai ekonomis, juga telah mempromosikan kebudayaaan mereka. Hal ini merupakan sebuah tantangan bagi terutama bagi umat Islam di belahan dunia. Secara tidak langsung, globalisasi telah menjadi pintu bagi westernisasi. Dengan menawarkan gaya hidup yang tidak sepenuhnya sesuai dengan norma-norma Islam, lifestyle yang ditawarkan seolah-olah merupakan corak hidup masyarakat modern yang ideal.
Perubahan gaya hidup umat Islam yang diawali dengan perubahan cara pandangnya yang cenderung western-minded dikhawatirkan mengikis nilai-nilai keislaman dalam kehidupan masyarakat muslim bahkan menghilangkan karakter masyarakat muslim dan secara bersamaan mengaburkan ajaran Islam itu sendiri.
Hal-hal yang dihadapi oleh umat Muslim ini haruslah ditanggapi dengan arif dan bijak. Melihat peluang yang ada pada era globalisasi seraya berusaha meminimalisir efek negatifnya, penting bagi kaum muslim untuk turut serta berperan aktif dalam globalisasi. Misi Islamisasi dapat diwujudkan dengan memanfaatkan kebebasan penyediaan informasi serta kemudahan aksesnya di era globalisasi.
Teknologi Sebagai Media Islamisasi
Saat ini uat Islam harus berperan aktif dalam globalisasi dengan menggunakan perkembangan teknologi sebagai media Islamisasi. Muslim dapat menjalankan misinya yang menitik beratkan pada nilai-nilai edukasi keislaman. Internet sebagai media yang cukup banyak diakses oleh masyarakat modern dapat dimanfaatkan oleh setiap muslim dalam mengampanyekan nilai-nilai keislaman. Setiap pengguna internet dapat melakukannya di jejaring sosial, blog, maupun website.
Media massa yang berorientasikan kepada keuntungan juga harus berorientasi pada nilai-nilai Islam yang mendidik, sehingga peran media sebagai pendidik masyarakat dapat terpenuhi.
Media cetak maupun online yang merupakan salah satu sumber informasi masyarakat juga diharapkan mampu menyediakan informasi yang mempromosikan nilai-nilai keislaman dalam pemberitaannya.
Televisi sebagai media yang paling diminati dan paling banyak dikonsumsi masyarakat, sangat berpengaruh dalam konstruksi pandangan dan perilaku masyarakat. Televisi telah berhasil menciptakan popularitas public figure sekaligus memopulerkan gaya hidupnya. Televisi yang selama ini telah menciptakan tren di tengah-tengah kehidupan masyarakat, merupakan peluang besar bagi realisasi misi Islamisasi.
Misi Islamisasi yang memanfaatkan kebebasan penyediaan informasi melalui media yang sarat edukasi dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Penayangan siaran-siaran yang mendidik serta mempopulerkan gaya hidup Islami dengan menciptakan image bahwa Islam menawarkan sebuah kehidupan masyarakat yang ideal, adalah sebuah cara menyiasati globalisasi melalui media yang mutlak harus dijalankan.
Selain sebagai media dakwah untuk mempromosikan Islam, sarana edukasi umat Islam dan  pencegahan pergeseran nilai-nilai keislaman. Penggunaan teknologi melalui media massa dapat mencegah distorsi pemahaman atas ajaran Islam. Hal yang paling penting dalam sebuah proses Islamisasi adalah sedapat mungkin meminimalisir pengaruh berbahaya dari modernitas seperti unsur-unsur hedonisme, materialisme serta konsumerisme dan berusaha menggantikannya dengan sebuah pandangan hidup Islam yang mengedepankan nilai-nilai moral dan etika Islam.
Dengan segala efek negatif yang bermunculan di era globalisasi, globalisasi juga menyediakan celah bagi umat dalam mewujudkan proses Islamisasi. Sebuah tantangan tersendiri bagi kita untuk tetap bersikap positif dalam menyikapi modernitas dan memanfaatkannya demi kemaslahatan umat.

Kesimpulan
Da'wah dalam era teknologi dengan multikultural etnis di tengah terpaan media sosial dan isu global Islamisasi adalah suatu keniscayaan. Jika Da'wah memiliki etimologi mengajak dan menyeru, maka proses atau pekerjaan tersebut mudah dilakukan di zaman digital seperti sekarang, berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya yang masih sulit berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya.
Di era teknologi ini semua serba mudah, praktis, serba bisa, juga bahaya. Mesin yang menjadi primadona teknologi memudahkan Manusia dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Dalam hal pekerjaan, bermain, berpergian, apapun itu semua bisa dibantu dengan teknologi. Handphone yang ada di tangan anda sekarang adalah gerbang pengetahuan dunia yang Anda bisa lihat di layar kaca. Luasnya alam semesta bisa Anda kelilingi hanya dengan perantara Handphone Anda. Bermain, bekerja, dll bisa Anda lakukan hanya dengan Handphone Anda. Masih banyak lagi teknologi-teknologi lain yang bisa Kita temukan juga lebih canggih.
Luasnya Bumi tentu melahirkan multikultural etnis. Indonesia salah satu negara dari sekian banyak negara di belahan dunia yang memiliki ragam etnis. Dari Sabang sampai merauke melahirkan etnis, budaya, ras, serta agama yang ragam. Itu baru satu negara. Masih banyak lagi negara yang memiliki etmis yang beragam. Artinya multikultural etnis adalah pertimbangan Duat dalam berda'wah
Media sosial dan isu global Islamisasi juga menjadi trend hari ini. Siapa sih yang ga punya media sosial?, Anda yang baca ini pasti memiliki salah satu media sosial. Semakin canggih suatu teknologi maka semakin banyak pula kelemahannya. Salah satu kelemahan media sosial adalah filterisasi [Penyaringan] konten-konten negatif. Masih banyak lagi terpaan-terpaan media sosial yang perlu kita waspadai dalam berkomunikasi. Isu global Islamisasi juga menjadi isu internasional. Islam seolah-oleh menjadi kambing hitam. Yang paling mencolok adalah terorisme yang masih dibenakkan kepada Islam
Jadi Da'wah dalam era teknologi dengan multikultural etnis di tengah terpaan media sosial dan isu global Islamisasi perlu pemahaman yang komprehensif [Menyeluruh]. Karna Da'wah tersebut cukup universal [umum]. Jika bahas tema tersebut tentu Da'wah bisa mudah, tapi balik lagi apa yang Saya katakan Sebelumnya, bahkan semakin canggih teknologi maka semakin banyak memiliki kelemahan.

Daftar Pustaka
Wikipedia
nasional.kompas.com
https://kajianbudayablog.wordpress.com
jabalsab.wordpress.com


Komentar